Jumat, 22 Oktober 2010

PK Tanpa Banding dan Kasasi Tak Boleh Diterima

MA menolak PK yang diajukan mantan Bupati Natuna, Hamid Rizal. Dua Hakim ad hoc mengajukan dissenting opinion dengan berpendapat seharusnya putusan berbunyi ‘tidak dapat diterima’.

Taktik para terpidana kasus korupsi dalam mengurangi hukumannya semakin berkembang. Beberapa waktu belakangan ini, ada sebuah trend baru di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Para terpidana yang telah dihukum oleh pengadilan di tingkat pertama itu tak mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Melainkan langsung mengajukan upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali (PK).

‘Akal-akalan’ ini rupanya terbaca oleh Hakim Ad Hoc Tipikor di Mahkamah Agung (MA). Hakim Ad Hoc Krisna Harahap dan MS Lumme menilai modus baru ini adalah upaya untuk mengurangi hukuman. Bila terpidana mengajukan banding atau kasasi, maka ada kemungkinan hukumannya bisa diperberat.

Sedangkan, bila terpidana mengajukan PK maka mustahil hukuman yang diperolehnya di pengadilan tingkat pertama diperberat oleh majelis hakim PK. Dasarnya adalah Pasal 266 ayat (3) KUHAP. Ketentuan itu berbunyi ‘Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula’.

Pendapat dua hakim ini bukan diutarakan dalam acara diskusi atau seminar, melainkan dituangkan dalam putusan PK yang diajukan oleh mantan Bupati Natuna, Kepulauan Riau, Hamid Rizal. Majelis Hakim PK yang diketuai oleh Artidjo Alkostar serta beranggotakan Krisna Harahap, MS Lumme, Leo Hutagalung dan Imam Haryadi menolak PK terpidana.

Krisna dan Lumme menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Menurut keduanya, putusan itu seharusnya berbunyi tidak dapat diterima (artinya, tak memenuhi syarat formil sehingga substansi perkaranya tak perlu dipertimbangkan). Ketika dikonfirmasi, Krisna menyebutkan langkah mengajukan PK tanpa melewati banding dan kasasi tidak tepat.

“Tanpa menggunakan upaya hukum banding dan kasasi, berarti terpidana telah menerima dan menyetujui putusan majelis sehingga tidak pada tempatnya lagi mempersoalkan adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagai alasan mengajukan PK,” sebut Krisna, Rabu (20/10).

Penggiat Anti-Korupsi, Bambang Widjojanto mengakui ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang berpendapat asalkan putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka terpidana bisa mengajukan PK. Putusan Pengadilan Negeri (tingkat pertama) bisa dinyatakan berkekuatan hukum tetap apabila diterima oleh kedua belah pihak atau tak ada pihak yang mengajukan upaya hukum sampai batas waktu yang ditentukan berakhir.

Secara tekstual, lanjut calon pimpinan KPK ini, terpidana tentu merasa berhak mengajukan PK ketika putusannya sudah berkekuatan hukum tetap. Bambang melihat ini menjadi trend dalam kasus-kasus korupsi saat ini. Meski begitu, ia tak menyalahkan dissenting opinion kedua hakim ini.

“Hanya yang dikemukakan oleh Prof. Krisna dan Lumme tidak salah juga. Karena dia sebagai hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Cara para terpidana menghindari proses pemeriksaan di banding dan kasasi itu menjadi siasat. Itu bukan tak boleh dilakukan. Tapi ini menjadi siasat yang bisa merugikan rasa keadilan masyarakat,” ujar Bambang.

Bambang menilai dua hakim ini sedang menggunakan prinsip recht vinding atau penemuan hukum oleh hakim. “Dia bukan hanya mengawal kepentingan terdakwa, tetapi dia juga mengawal rasa keadilan di masyarakat,” ujarnya. Ia menegaskan putusan para hakim memang harus mengawal rasa keadilan di masyarakat.

Selain alasan PK tanpa banding dan kasasi, Krisna dan Lumme juga berpendapat PK kasus ini tak bisa diterima karena majelis hakim di tingkat PN –dalam putusannya- langsung menggunakan pasal-pasal subsider (yang hukumannya lebih ringan dari dakwaan primer). Padahal, struktur dakwaan yang digunakan jaksa bukan dakwaan alternatif. Seharusnya, majelis hakim PN mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan primer.

Sebagai informasi, dengan ditolaknya PK ini, Hamid Rizal harus tetap mendekam di penjara sebagaimana putusan pengadilan tindak pidana korupsi. Ia harus menjalani hukuman tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta dan harus membaya uang pengganti sebesar Rp 28,3 Miliar.

sumber : hukumonline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar