Senin, 25 Oktober 2010

Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I)

Oleh: J. Satrio *)
Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan J. Satrio mengenai somasi.

Pengantar
Penulis dengan ini mengajak para pembaca untuk berbincang-bincang tentang lembaga hukum “ somasi “, sedapat mungkin dalam bentuk tanya-jawab. Ini merupakan suatu percobaan dan penjajagan, apakah makalah dalam bentuk tanya jawab memenuhi selera pembaca.

Topik somasi mestinya menarik untuk disimak, sebab sekalipun somasi memegang peranan yang sangat besar (penting) dalam pelaksanaan hukum, namun -- anehnya -- dalam B.W. sendiri tidak dikenal istilah somasi.

Namun demikian ada istilah lain yang biasa dikaitkan dengan somasi, yaitu “in gebreke gesteld“ (atau ingebrekestelling), yang bisa diterjemahkan menjadi “pernyataan lalai“ (atau “dinyatakan dalam keadaan lalai“), sebagai yang diatur dalam Pasal 1238 BW.

Untuk jelasnya kita kutip Ps. 1238 BW:
“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“.

Masalahnya adalah, bagaimana orang menyatakan debitur dalam keadaan lalai? Perlu diingat, bahwa “berada dalam keadaan lalai“ merupakan peristiwa yang penting sekali dan membawa akibat hukum yang besar. Hak kreditur untuk menuntut ganti rugi dari debitur didasarkan atas keberadaan debitur dalam keadaan lalai (Ps. 1243 BW). Demikian juga hak untuk menuntut pembatalan perjanjian (Ps. 1267 BW).

Keadaan Lalai
Keadaan lalai berkaitan dengan jatuh temponya kewajiban perikatan debitur, dengan kata lain berkaitan dengan matangnya tagihan ybs. Kalau belum tiba saatnya kewajiban perikatan debitur dilaksanakan, maka debitur tidak bisa dinyatakan dalam keadaan lalai (ditafsirkan dari Ps. 1270 BW).

Bagaimana debitur berada dalam keadaan lalai? Ps. 1238 BW mengajarkan kepada kita, bahwa “keadaan lalai“-nya debitur berkaitan dengan masalah “perintah“ (bevel) yang dituangkan secara tertulis. Kata “perintah“ mengandung suatu peringatan dan karenanya“bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (-tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian –sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan– bisa kita simpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“. Somasi yang tidak dipenuhi –tanpa alsasan yang sah– membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku. Jadi, somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi. Dengan demikian, somasi merupakan sarana untuk menetapkan debitur berada dalam keadaan lalai (kalau somasi tidak dipenuhi).

Konsekuensinya, surat yang tidak berisi perintah/teguran agar debitur berprestasi bukan merupakan somasi. Surat yang berisi kata-kata “kami menunggu penyerahan pesanan kami“ tidak berlaku sebagai suatu somasi. Namun pernyataan dalam gugatan, yang tidak dibantah oleh debitur, bahwa debitur-pemimpin-gudang telah menolak permintaan, yang diajukan berkali-kali, untuk menyerahkan barang yang dititipkan dalam gudangnya, sudah dianggap sebagai suatu somasi (R.v.J. Surabaya 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367). Kiranya yang disebut surat perintah tidak selalu harus memakai nada memerintah. Surat yang berbunyi: “kami menunggu kiriman paling lambat tanggal….. yang akan datang.”, sudah cukup untuk dinilai sebagai suatu peringatan kapan selambat-lambatnya debitur diminta untuk berprestasi. Yang penting dalam surat teguran nampak tuntutan kreditur akan prestasi debitur. Mengeluh saja atas tidak adanya penyerahan dari debitur, tidak bisa ditafsirkan sebagai suatu somasi. Sudah bisa diduga akan menjadi masalah, bagaimana menafsirkan suatu surat, apakah merupakan suatu pemberitahuan ataukah sudah merupakan suatu perintah. Semuanya harus dinilai in concreto.

Apakah debitur baru berada dalam keadaan lalai, kalau telah dinyatakan berada dalam keadaan lalai? Berdasarkan redaksi Pasal 1238 BW, debitur berada dalam keadaan lalai bisa karena, setelah diperingatkan dengan benar untuk berprestasi, debitur –tanpa dasar yang bisa dibenarkan-- tetap tidak berprestasi atau bisa juga debitur wanprestasi --tanpa perlu somasi-- atas dasar sifat perikatannya (J. Satrio, 1993 : 106).

Untuk peristiwa dimana debitur sudah berada dalam keadaan lalai karena sifat perikatan itu sendiri (atau “demi perikatannya sendiri“, Ps. 1238 BW), di sana tidak diperlukan somasi dan karenanya disana tidak ada masalah somasi. Contohnya, kalau ada perjanjian jual beli taart penganten, yang harus diserahkan pada hari pernikahan, tetapi pada hari itu taart tidak dikirimkan, maka pembuat roti sudah wanprestasi dengan lewatnya hari yang disepakati, tanpa perlu lagi ada somasi. Taart itu sudah tidak bernilai lagi atau paling tidak sudah tidak bernilai seperti seandainya taart itu diserahkan pada waktunya (pada hari pernikahan). Kesimpulannya, kalau karena penyerahan yang terlambat, tidak dapat lagi dicapai apa yang dituju oleh kreditur dengan membuat perjanjian itu, maka dengan lewatnya waktu saja sudah terjadi mora ex re, tanpa perlu ada somasi lagi. Mora ex re artinya dengan lewatnya jangka waktu yang disepakati saja, debitur sudah berada dalam keadaan lalai. Jadi tidak perlu somasi. Orang yang lalai melaksanakan kewajibannya disebut telah wanprestasi.

Bentuk Pernyataan Lalai
Dalam Pasal 1238 BW disebutkan tentang “perintah“ atau “akta sejenis“. Yang dimaksud dengan “perintah“ adalah exploit juru sita (A.Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, 1979: 54; L.E.H. Rutten, hal. 177). Exploit juru sita sebenarnya merupakan sarana menyampaikan pesan (perintah) secara lisan; salinan atas surat – yang telah dibuat sebelumnya -- yang disampaikan oleh juru sita yang berisi pesan itu disebut exploit, dan karena disampaikan oleh juru sita maka disebut exploit juru sita.


Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah yang dimaksud dengan “akta sejenis“? Kalau istilah “akta sejenis“ diartikan sebagai sejenis dengan “perintah“ -- yang ditafsirkan sebagai exploit jurusita – maka bentuknya harus tertulis. Malahan bisa dipermasalahkan, apakah “akta sejenis“ itu harus berbentuk otentik, mengingat exploit juru sita merupakan akta otentik (Star Busman, hal. 37). Dulu memang penulis-penulis menafsirkannya sebagai akta otentik (L.E.H. Rutten, hal. 177), yang sekarang tidak dianut lagi. MA bahkan pernah mengemukakan pendapatnya dengan tegas bahwa: “Permintaan untuk memenuhi (het vragen van nakoming) yang diperjanjikan tidak diharuskan dengan tegoran juru sita (MA 12 Juni 1957 no. 117 K/Sip/1956, dimuat dalam RYMARI 1993, hal. 134 ). Sekarang doktrin maupun yurisprudensi sepakat, bahwa somasi itu harus berbentuk tertulis dan tidak perlu dalam bentuk otentik (A. Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, 1979 : 55; L.E.H. Rutten, 1973 : 177; MA 1 Juli 1959 no. 186 K/Sip/1959 dimuat dalam RYMARI, 1993, hal 242).

Jadi, apakah teguran dengan surat biasa sudah cukup untuk diterima sebagai suatu somasi? Ya, somasi bisa diberikan dalam bentuk surat biasa (R.v.J. Surabaya 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367) dan tidak harus disampaikan melalui exploit juru sita.

Apa beda antara akta biasa dengan exploit juru sita? Exploit juru sita merupakan akta otentik (Ps. 1868 BW) dan karenanya mempunyai kekuatan bukti yang sempurna (Ps. 1870 BW). Kreditur, yang menegur debitur dengan surat biasa, harus mengatur sendiri, agar nantinya ia bisa membuktikan telah memberikan somasi secara sah. Yang pasti, somasi secara lisan tidak dibenarkan. Dengan kata lain, teguran secara lisan tidak berlaku sebagai suatu somasi (HgH Batavia, 24 Desember 1936, dalam T. 145 : 10).

Kapan Debitur Lalai?
Maksudnya dalam keadaan yang bagaimana debitur berada dalam keadaan lalai? Apakah debitur yang tidak berprestasi sebagaimana mestinya, selalu sudah melakukan wanprestasi? Dengan kata lain, apakah wanprestasi sama dengan tidak berprestasi?

Tidak! Sebab ada kalanya debitur dibenarkan untuk tidak berprestasi, maksudnya, ada kalanya sekalipun debitur tidak berprestasi sebagaimana mestinya, ia tidak wanprestasi. Yang demikian muncul, kalau sekalipun debitur tidak memenuhi kewajiban perikatannya, tetapi ia tetap dibenarkan untuk tidak berprestasi, seperti umpamanya, karena ia menghadapi keadaan memaksa. Dalam keadaan memaksa debitur tidak wanprestasi sekalipun ia tidak memenuhi kewajiban perikatannya.

Wanprestasi tidak sama dengan tidak berprestasi. Jadi, kalau diatas dikatakan “orang yang lalai melaksanakan kewajibannya disebut telah wanprestasi“, ini tidak sama dengan mengatakan “orang yang tidak berprestasi dikatakan wanprestasi“, sebab didalam kata “lalai“ sudah terkandung unsur salah, dan karenanya tidak dibenarkan untuk tidak berprestasi (J. Satrio, 1993 : 251).

Di atas ada disebut tentang orang/debitur yang lalai memenuhi kewajiban prestasinya. Lalai selalu mengandung unsur salah. Apakah dengan demikian, debitur baru dikatakan wanprestasi, kalau dalam sikap “tidak berprestasi“ ada unsur salah pada dirinya?

Benar sekali, sebab kalau debitur punya dasar yang dibenarkan undang-undang untuk tidak berprestasi, maka tidak dapat dikatakan debitur wanprestasi.

Kesimpulannya, debitur dikatakan wanprestasi, kalau setelah debitur disomir dengan benar, debitur –tanpa alasan yang dibenarkan-- tetap tidak berprestasi sebagaimana mestinya (bersambung).

Purwokerto, 9 Agustus 2010

*) Penulis adalah pengamat hukum.



Catatan singkat
T = Indisch tijdschrift van het recht (makalah dan kumpulan putusan pengadilan pada masa Hindia Belanda.
H. = Hukum, Majalah Perhimpunan Ahli Hukum Indonesia dan kumpulan putusan-putusan pengadilan era 1950-an.
HGH = Hooggerechtshof (Pengadilan tertinggi pada masa Hindia Belanda)
RvJ = Pengadilan tingkat pertama bagi mereka yang tunduk pada BW; merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara-perkara Landraad; RvJ ada di ibukpta provinsi.
MA = Mahkamah Agung
RYMARI = Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.


Literatur
Satrio J., Hukum Perikatan pada Umumnya. PT Alumni, Bandung, 1993

Pitlo A – MFHJ Bolweg, Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Deel 3, Algemeen Leer van het Verbintenissenrecht, cet ke delapan. S.Gouda Quint – D.Brouwe en ezzon, 1979.

Asser C. – L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintenis in het algemeen, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle, 1973.

Star Busman, Hoofstukken van Burgerlijke Rechtsvordering, cet kedua, De Erven F. Bohn, Harleem, 1955.

R.v.J. Surabaya, 28 Agustus 1912, dimuat dalam T. 106 : 367.

HgH Batavia, 24 Desember 1936, dimuat dalam T. 145 : 10.

Mahkamah Agung, 1 Juli 1959 no. 186 K/Sip/1959, dimuat dalam RYMARI 1993.


somasi tanpa adanya perikatan — juan 22.10.10 19:08
tulisan yg sangat menarik pak Satrio...by the way dalam praktek hukum sesehari,somasi tidak terbatas dilakukan kepada para pihak yg melakukan perikatan (adanya unsur wanprestasi) namun ada juga somasi yg ditujukan kepada pihak yg tidak terkait dengan sebuah perikatan namun memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. misalkan kasus penyerobotan tanah.

Jumat, 22 Oktober 2010

Siapa Dituntut Penjara, Siapa Diminta Bayar Uang Pengganti

Jaksa penuntut umum menuntut mantan Bupati Brebes Jawa Tengah dengan hukuman tiga tahun penjara. Tapi menuntut pihak lain yang bukan terdakwa membayar uang pengganti.



Ada yang terdengar janggal dalam pembacaan surat tuntutan (requisitor) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (18/10). Jaksa menuntut hukuman penjara kepada terdakwa, tapi malah menuntut pihak lain membayar uang pengganti. Anehnya, pihak lain itu bukan terdakwa atau bahkan tersangka dalam kasus serupa.

Demikian terjadi dalam perkara dugaan korupsi yang menyeret mantan Bupati Brebes Jawa Tengah Indra Kusuma sebagai terdakwa. Dalam perkara ini, Indra dinilai terbukti merugian keuangan negara Rp7,8 miliar dengan menyalahgunakan wewenangnya dalam proyek pengadaan tanah untuk pengembangan Pasar Brebes pada tahun 2003.

Jaksa lantas menuntut agar hakim menghukum terdakwa dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider satu tahun kurungan. Itu saja. Sang mantan Bupati tak dibebani kewajiban membayar uang pengganti.

Pembayaran uang pengganti malah dibebankan jaksa kepada pihak lain yang disebut sebagai kolega terdakwa. Diantaranya, Hartono sebesar Rp3 miliar, dua panitia pengadaan Supriyono Rp20 juta dan Karsono Rp5 juta. Mereka semua, kata jaksa, sudah mengembalikan ke negara.

Selain itu, ada juga Dien Noviani yang diwajibkan mengembalikan uang ke negara sebesar Rp4,4 milyar. Untuk kewajiban ini Dien baru mengganti sebesar Rp100 juta. "Jika tidak membayar uang pengganti selama satu bulan, maka harta yang bersangkutan akan disita," kata jaksa.

Lucunya, Hartono, Supriyono, Karsono dan Dien Noviani, sejauh ini, tidak berstatus sebagai terdakwa.

Dihubungi hukumonline usai sidang, jaksa Dwi Aries membenarkan status Hartono dkk sejauh ini masih berstatus sebagai saksi. Namun demikian, jaksa beranggapan mereka tetap harus mengembalikan keuangan negara.

“Menurut kami Hartono tidak berhak atas uang tersebut. Meskipun sebagai saksi kami beranggapan uang yang didapat Hartono cs patut disita sebagai bentuk penyelamatan keuangan negara. Perkara ini semua bukti sudah cukup. Upaya yang kami lakukan ini semuanya tergantung dari keputusan hakim nantinya,” kata Dwi lewat telepon, Senin (18/10).

Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Indonesia Rudy Satriyo menyatakan tindakan jaksa membebankan uang pengganti kepada pihak selain terdakwa adalah tak lazim. “Harusnya terpisah. Tidak dimasukkan ke dalam (satu) tuntutan. Tapi dia (jaksa) boleh saja minta, karena semuanya ada di dalam keputusan hakim.”

Selewengkan wewenang
Dalam tuntutannya, jaksa membeberkan peran terdakwa yang dianggap tidak mengindahkan prosedur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dan melakukan pengeluaran atas beban APBD Kabupaten Brebes untuk tujuan yang tidak didukung oleh bukti yang lengkap dan sah.

Caranya, terdakwa telah menyetujui proposal penawaran tanah seluas 900 m2 milik Hartono Santoso alias Si Hok. Padahal pembelian tanah di Jalan Jenderal Sudirman itu belum diusulkan oleh Satuan Kerja Pemerintah Kabupatan (Pemkab) Brebes. Terdakwa setelah mengesahkan APBD Kabupaten Brebes, pada 8 Maret 2003 mengalokasikan anggaran sebesar Rp4,5 miliar untuk pengadaan tanah di Jalan Jenderal Sudirman. Akibat perbuatan tersebut, terdakwa telah memperkaya Hartono sebesar Rp 3,36 miliar.

Perbuatan yang sama juga dilakukan terdakwa terhadap proposal penawaran tanah seluas 1200 m2 di Jalan Ahmad Yani yang diajukan Dien Noviany Rahmatika. Pembelian tanah untuk perluasan Pasar Brebes sebesar Rp6 miliar tersebut dibebankan pada Belanja Tidak Tersangka mendahului perubahan APBD Kabupaten Brebes tahun anggaran 2003. Pembayaran tanah kepunyaan Dien senilai Rp6 miliar mengakibatkan kerugian keuangan negara hingga Rp4,4 miliar. "Pembayaran dibuatkan tanggal mundur seolah-olah dianggarkan (APBD perubahan)," kata jaksa Dwi Aries.

Jaksa lainnya Malino S Pelanduk mengatakan, terdakwa yang telah tahu harga tanah sangat mahal tapi tetap menyetujui pembelian tanah tanpa disyaratkan pelengkapan administrasi merupakan penyalahgunaan kewenangan. Tapi, terdakwa tidak memperoleh keuntungan dari penyalahgunaan wewenang ini. "Untuk itu, terdakwa bersalah dan melanggar Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi," katanya.

Jaksa Sarjono Turin menuturkan, dalam setiap persidangan ada perbuatan terdakwa yang dinilai meringankan. Yakni, permintaan maaf terdakwa kepada seluruh masyarakat Brebes karena perbuatannya dan terdakwa juga bukanlah pelaku aktor intelektual dalam perkara ini.

Sementara itu, Penasehat Hukum terdakwa Arteria Dahlan berencana mengajukan pledoi. Menurutnya, tudingan jaksa mengenai inisiatif kliennya melakukan pencairan adalah tidak benar. "Kita punya dalil sendiri sesuai dengan keyakinan sendiri, tidak sesuai fakta yang sebenarnya. Tidak ada inisiatif dari Pak Indra niatan melakukan pencairan. Kita akan jabarkan di pembelaan," ujarnya usai persidangan.

Sidang akan dilanjutkan pada hari Senin pekan depan (25/10) dengan agenda pledoi dari penasehat hukum dan terdakwa.

sumber :hukumonline

Pengadilan Boleh Sita Harta BUMN

Harta milik negara yang telah disertakan sebagai modal ke BUMN atau BUMD bisa disita oleh pengadilan.




Para hakim di seluruh Indonesia, khususnya yang menangani perkara-perkara perdata, tak perlu lagi bingung bila menangani kasus gugatan perdata yang salah satu tergugatnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung (Rakernas MA) 2010 telah memberi petunjuk kepada para hakim dalam melakukan sita jaminan atau sita eksekusi terhadap harta BUMN atau BUMD.

Rakernas MA menyimpulkan bahwa harta kekayaan BUMN atau BUMD dapat disita oleh pengadilan. “Terhadap keuangan negara yang disertakan inbreng (penyertaan modal) dalam BUMN atau BUMD persero dapat disita,” demikian bunyi kesimpulan yang dihasilkan oleh Bidang Perdata Umum di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (14/10).

Namun tak sembarangan harta kekayaan BUMN atau BUMD yang bisa disita. Intinya, kekayaan negara yang sudah disertakan sebagai modal BUMN atau BUMD yang bisa disita. Karena, kekayaan itu bukan lagi milik negara melainkan sudah menjadi harta miliki BUMN atau BUMD.

“Status harta ini tunduk pada Undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan dikelola oleh perseroan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat,” masih berdasarkan kesimpulan tim perumus yang diketuai oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura, Madya Suhardja.

Sementara, uang atau barang milik negara yang bukan penyertaan modal tetapi dikelola oleh BUMN atau BUMD tak dapat dilakukan sita jaminan atau sita eksekusi. Hal ini mengacu kepada pada Pasal 50 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan harta kekayaan milik negara tak bisa disita oleh pengadilan.

Sebelumnya, Ketua Muda Perdata Umum Atja Sondjaja mengungkapkan di lapangan selama ini berkembang dua penafsiran kekayaan negara yang ‘diparkir’ di BUMN atau BUMD. Hal ini berujung kepada perbedaan penafsiran di antara hakim apakah harta kekayaan BUMN atau BUMD bisa disita dalam kasus perdata atau tidak.

Pandangan pertama, lanjut Atja, adalah menyamakan status BUMN atau BUMD dengan Perseroan Terbatas (PT) lainnya. Sehingga, kekayaan BUMN atau BUMD bisa disita oleh pengadilan. Dan, Menteri Keuangan (Menkeu) selaku wakil pemerintah tak bisa melakukan derden verzet (perlawanan pihak ketiga) karena yang disita pengadilan bukan lagi kekayaan milik negara, melainkan milik BUMN atau BUMD.

Sedangkan, pandangan kedua berpendapat sebaliknya. Para hakim yang menggunakan pandangan ini berpendapat kekayaan BUMN atau BUMD tak bisa disita karena beranggapan kekayaan itu adalah milik negara. Pasalnya, negara lah yang menanamkan modal (berasal dari APBN atau APBD) kepada BUMN atau BUMD. Mereka menggunakan Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara sebagai dasarnya.

Selain itu, para hakim yang menggunakan pandangan ini juga merujuk kepada Pasal 1 butir 11 UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan ini berbunyi “Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lain yang sah”.

Dengan terbitnya kesimpulan Rakernas MA ini, tentu perbedaan dua pandangan ini sudah dapat disatukan.

Berdasarkan catatan hukumonline, sita jaminan terhadap harta kekayaan BUMN sudah kerap terjadi. Salah satu contohnya adalah sita jaminan dua kapal milik PT Djakarta Lloyd (Persero) oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada awal Februari 2009.

Dalil pihak PT Djakarta Llyod (tergugat) yang menyatakan sita jaminan bertentangan dengan Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara yang melarang penyitaan aset milik negara dibantah oleh majelis hakim. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat harta kekayaan BUMN tidak termasuk barang milik negara. Pasalnya, BUMN sebagai badan hukum perdata keberadaannya di luar struktur organsiasi lembaga negara atau pemerintah.

Fatwa MA
Perdebatan apakah kekayaan BUMN termasuk harta milik negara atau tidak sebenarnya tak hanya terjadi di ranah perdata. Pada akhir 2006 lalu, perdebatan ini bahkan sempat hangat dalam kasus tindak pidana korupsi. Kala itu, ada pertanyaan apakah pelaku korupsi di BUMN atau BUMD dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasalnya, UU Pemberantasan Tipikor mensyaratkan adanya tiga kondisi terjadinya korupsi. Yakni, (i) melakukan perbuatan melakukan hukum, (ii) merugikan perekonomian dan keuangan negara, serta (iii) memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi. Bila tiga syarat ini tak terpenuhi maka tidak bisa dinyatakan telah terjadi korupsi.

Persoalan timbul di BUMN atau BUMD. Apakah penggelapan di BUMN atau BUMD dapat dikategorikan sebagai korupsi? Atau kah dapat dikategorikan sebagai merugikan keuangan negara? Wakil Ketua MA Mariana Sutadi menerbitkan fatwa pada 16 Agustus 2006 untuk menjawab persoalan kekayaan negara di BUMN.

Fatwa itu berbunyi kekayaan BUMN terpisah dengan kekayaan negara. Pasalnya, ketika negara menanamkan modalnya ke BUMN maka harta milik negara itu terputus. Harta itu telah menjadi harta milik BUMN. Kala itu, fatwa ini dinilai kontroversial karena dapat berimplikasi orang yang menggelapkan atau merugikan harta kekayaan BUMN ini tidak dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tipikor.

sumber : hukumonline

PK Tanpa Banding dan Kasasi Tak Boleh Diterima

MA menolak PK yang diajukan mantan Bupati Natuna, Hamid Rizal. Dua Hakim ad hoc mengajukan dissenting opinion dengan berpendapat seharusnya putusan berbunyi ‘tidak dapat diterima’.

Taktik para terpidana kasus korupsi dalam mengurangi hukumannya semakin berkembang. Beberapa waktu belakangan ini, ada sebuah trend baru di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Para terpidana yang telah dihukum oleh pengadilan di tingkat pertama itu tak mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Melainkan langsung mengajukan upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali (PK).

‘Akal-akalan’ ini rupanya terbaca oleh Hakim Ad Hoc Tipikor di Mahkamah Agung (MA). Hakim Ad Hoc Krisna Harahap dan MS Lumme menilai modus baru ini adalah upaya untuk mengurangi hukuman. Bila terpidana mengajukan banding atau kasasi, maka ada kemungkinan hukumannya bisa diperberat.

Sedangkan, bila terpidana mengajukan PK maka mustahil hukuman yang diperolehnya di pengadilan tingkat pertama diperberat oleh majelis hakim PK. Dasarnya adalah Pasal 266 ayat (3) KUHAP. Ketentuan itu berbunyi ‘Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula’.

Pendapat dua hakim ini bukan diutarakan dalam acara diskusi atau seminar, melainkan dituangkan dalam putusan PK yang diajukan oleh mantan Bupati Natuna, Kepulauan Riau, Hamid Rizal. Majelis Hakim PK yang diketuai oleh Artidjo Alkostar serta beranggotakan Krisna Harahap, MS Lumme, Leo Hutagalung dan Imam Haryadi menolak PK terpidana.

Krisna dan Lumme menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Menurut keduanya, putusan itu seharusnya berbunyi tidak dapat diterima (artinya, tak memenuhi syarat formil sehingga substansi perkaranya tak perlu dipertimbangkan). Ketika dikonfirmasi, Krisna menyebutkan langkah mengajukan PK tanpa melewati banding dan kasasi tidak tepat.

“Tanpa menggunakan upaya hukum banding dan kasasi, berarti terpidana telah menerima dan menyetujui putusan majelis sehingga tidak pada tempatnya lagi mempersoalkan adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagai alasan mengajukan PK,” sebut Krisna, Rabu (20/10).

Penggiat Anti-Korupsi, Bambang Widjojanto mengakui ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang berpendapat asalkan putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka terpidana bisa mengajukan PK. Putusan Pengadilan Negeri (tingkat pertama) bisa dinyatakan berkekuatan hukum tetap apabila diterima oleh kedua belah pihak atau tak ada pihak yang mengajukan upaya hukum sampai batas waktu yang ditentukan berakhir.

Secara tekstual, lanjut calon pimpinan KPK ini, terpidana tentu merasa berhak mengajukan PK ketika putusannya sudah berkekuatan hukum tetap. Bambang melihat ini menjadi trend dalam kasus-kasus korupsi saat ini. Meski begitu, ia tak menyalahkan dissenting opinion kedua hakim ini.

“Hanya yang dikemukakan oleh Prof. Krisna dan Lumme tidak salah juga. Karena dia sebagai hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Cara para terpidana menghindari proses pemeriksaan di banding dan kasasi itu menjadi siasat. Itu bukan tak boleh dilakukan. Tapi ini menjadi siasat yang bisa merugikan rasa keadilan masyarakat,” ujar Bambang.

Bambang menilai dua hakim ini sedang menggunakan prinsip recht vinding atau penemuan hukum oleh hakim. “Dia bukan hanya mengawal kepentingan terdakwa, tetapi dia juga mengawal rasa keadilan di masyarakat,” ujarnya. Ia menegaskan putusan para hakim memang harus mengawal rasa keadilan di masyarakat.

Selain alasan PK tanpa banding dan kasasi, Krisna dan Lumme juga berpendapat PK kasus ini tak bisa diterima karena majelis hakim di tingkat PN –dalam putusannya- langsung menggunakan pasal-pasal subsider (yang hukumannya lebih ringan dari dakwaan primer). Padahal, struktur dakwaan yang digunakan jaksa bukan dakwaan alternatif. Seharusnya, majelis hakim PN mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan primer.

Sebagai informasi, dengan ditolaknya PK ini, Hamid Rizal harus tetap mendekam di penjara sebagaimana putusan pengadilan tindak pidana korupsi. Ia harus menjalani hukuman tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta dan harus membaya uang pengganti sebesar Rp 28,3 Miliar.

sumber : hukumonline